Senin, 22 Februari 2010

SEJARAH NABI MUHAMMAD


Perkawinan Abdullah dengan Aminah - Abdullah wafat -
Muhammad lahir disusukan oleh Keluarga Sa'd - Kisah
dua malaikat - Lima tahun selama tinggal di pedalaman
- Aminah wafat - Di bawah asuhan Abd'l-Muttalib -
Abd'l-Muttalib wafat - Di bawah asuhan Abu Talib -
Pergi ke Suria dalam usia dua belas tahun- Perang
Fijar - Menggembala kambing - Ke Suria membawa
dagangan Khadijah - Perkawinannya dengan Khadijah

USIA Abd'l-Muttalib sudah hampir mencapai tujuhpuluh tahun
atau lebih tatkala Abraha mencoba menyerang Mekah dan
menghancurkan Rumah Purba. Ketika itu umur Abdullah anaknya
sudah duapuluh empat tahun, dan sudah tiba masanya dikawinkan.
Pilihan Abd'l-Muttalib jatuh kepada Aminah bint Wahb bin Abd
Manaf bin Zuhra, - pemimpin suku Zuhra ketika itu yang sesuai
pula usianya dan mempunyai kedudukan terhormat. Maka pergilah
anak-beranak itu hendak mengunjungi keluarga Zuhra. Ia dengan
anaknya menemui Wahb dan melamar puterinya. Sebagian penulis
sejarah berpendapat, bahwa ia pergi menemui Uhyab, paman
Aminah, sebab waktu itu ayahnya sudah meninggal dan dia di
bawah asuhan pamannya. Pada hari perkawinan Abdullah dengan
Aminah itu, Abd'l-Muttalib juga kawin dengan Hala, puteri
pamannya. Dari perkawinan ini lahirlah Hamzah, paman Nabi dan
yang seusia dengan dia.

Abdullah dengan Aminah tinggal selama tiga hari di rumah
Aminah, sesuai dengan adat kebiasaan Arab bila perkawinan
dilangsungkan di rumah keluarga pengantin puteri. Sesudah itu
mereka pindah bersama-sama ke keluarga Abd'l-Muttalib. Tak
seberapa lama kemudian Abdullahpun pergi dalam suatu usaha
perdagangan ke Suria dengan meninggalkan isteri yang dalam
keadaan hamil. Tentang ini masih terdapat beberapa keterangan
yang berbeda-beda: adakah Abdullah kawin lagi selain dengan
Aminah; adakah wanita lain yang datang menawarkan diri
kepadanya? Rasanya tak ada gunanya menyelidiki
keterangan-keterangan semacam ini. Yang pasti ialah Abdullah
adalah seorang pemuda yang tegap dan tampan. Bukan hal yang
luar biasa jika ada wanita lain yang ingin menjadi isterinya
selain Aminah. Tetapi setelah perkawinannya dengan Aminah itu
hilanglah harapan yang lain walaupun untuk sementara. Siapa
tahu, barangkali mereka masih menunggu ia pulang dari
perjalanannya ke Syam untuk menjadi isterinya di samping
Aminah.

Dalam perjalanannya itu Abdullah tinggal selama beberapa
bulan. Dalam pada itu ia pergi juga ke Gaza dan kembali lagi.
Kemudian ia singgah ke tempat saudara-saudara ibunya di
Medinah sekadar beristirahat sesudah merasa letih selama dalam
perjalanan. Sesudah itu ia akan kembali pulang dengan kafilah
ke Mekah. Akan tetapi kemudian ia menderita sakit di tempat
saudara-saudara ibunya itu. Kawan-kawannyapun pulang lebih
dulu meninggalkan dia. Dan merekalah yang menyampaikan berita
sakitnya itu kepada ayahnya setelah mereka sampai di Mekah.

Begitu berita sampai kepada Abd'l-Muttalib ia mengutus Harith
- anaknya yang sulung - ke Medinah, supaya membawa kembali
bila ia sudah sembuh. Tetapi sesampainya di Medinah ia
mengetahui bahwa Abdullah sudah meninggal dan sudah dikuburkan
pula, sebulan sesudah kafilahnya berangkat ke Mekah.
Kembalilah Harith kepada keluarganya dengan membawa perasaan
pilu atas kematian adiknya itu. Rasa duka dan sedih menimpa
hati Abd'l-Muttalib, menimpa hati Aminah, karena ia kehilangan
seorang suami yang selama ini menjadi harapan kebahagiaan
hidupnya. Demikian juga Abd'l-Muttalib sangat sayang kepadanya
sehingga penebusannya terhadap Sang Berhala yang demikian rupa
belum pernah terjadi di kalangan masyarakat Arab sebelum itu.

Peninggalan Abdullah sesudah wafat terdiri dari lima ekor
unta, sekelompok ternak kambing dan seorang budak perempuan,
yaitu Umm Ayman - yang kemudian menjadi pengasuh Nabi. Boleh
jadi peninggalan serupa itu bukan berarti suatu tanda
kekayaan; tapi tidak juga merupakan suatu kemiskinan. Di
samping itu umur Abdullah yang masih dalam usia muda belia,
sudah mampu bekerja dan berusaha mencapai kekayaan. Dalam pada
itu ia memang tidak mewarisi sesuatu dari ayahnya yang masih
hidup itu.

Aminah sudah hamil, dan kemudian, seperti wanita lain iapun
melahirkan. Selesai bersalin dikirimnya berita kepada Abd'l
Muttalib di Ka'bah, bahwa ia melahirkan seorang anak
laki-laki. Alangkah gembiranya orang tua itu setelah menerima
berita. Sekaligus ia teringat kepada Abdullah anaknya. Gembira
sekali hatinya karena ternyata pengganti anaknya sudah ada.
Cepat-cepat ia menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu
lalu dibawanya ke Ka'bah. Ia diberi nama Muhammad. Nama ini
tidak umum di kalangan orang Arab tapi cukup dikenal. Kemudian
dikembalikannya bayi itu kepada ibunya. Kini mereka sedang
menantikan orang yang akan menyusukannya dari Keluarga Sa'd
(Banu Sa'd), untuk kemudian menyerahkan anaknya itu kepada
salah seorang dari mereka, sebagaimana sudah menjadi adat kaum
bangsawan Arab di Mekah.

Mengenai tahun ketika Muhammad dilahirkan, beberapa ahli
berlainan pendapat. Sebagian besar mengatakan pada Tahun Gajah
(570 Masehi). Ibn Abbas mengatakan ia dilahirkan pada Tahun
Gajah itu. Yang lain berpendapat kelahirannya itu limabelas
tahun sebelum peristiwa gajah. Selanjutnya ada yang mengatakan
ia dilahirkan beberapa hari atau beberapa bulan atau juga
beberapa tahun sesudah Tahun Gajah. Ada yang menaksir tiga
puluh tahun, dan ada juga yang menaksir sampai tujuhpuluh
tahun.

Juga para ahli berlainan pendapat mengenai bulan kelahirannya.
Sebagian besar mengatakan ia dilahirkan bulan Rabiul Awal. Ada
yang berkata lahir dalam bulan Muharam, yang lain berpendapat
dalam bulan Safar, sebagian lagi menyatakan dalam bulan Rajab,
sementara yang lain mengatakan dalam bulan Ramadan.

Kelainan pendapat itu juga mengenai hari bulan ia dilahirkan.
Satu pendapat mengatakan pada malam kedua Rabiul Awal, atau
malam kedelapan, atau kesembilan. Tetapi pada umumnya
mengatakan, bahwa dia dilahirkan pada tanggal duabelas Rabiul
Awal. Ini adalah pendapat Ibn Ishaq dan yang lain.

Selanjutnya terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu
kelahirannya, yaitu siang atau malam, demikian juga mengenai
tempat kelahirannya di Mekah. Caussin de Perceval dalam Essai
sur l'Histoire des Arabes menyatakan, bahwa Muhammad
dilahirkan bulan Agustus 570, yakni Tahun Gajah, dan bahwa dia
dilahirkan di Mekah di rumah kakeknya Abd'l-Muttalib.

Pada hari ketujuh kelahirannya itu Abd'l-Muttalib minta
disembelihkan unta. Hal ini kemudian dilakukan dengan
mengundang makan masyarakat Quraisy. Setelah mereka mengetahui
bahwa anak itu diberi nama Muhammad, mereka bertanya-tanya
mengapa ia tidak suka memakai nama nenek moyang. "Kuinginkan
dia akan menjadi orang yang Terpuji,1 bagi Tuhan di langit
dan bagi makhlukNya di bumi," jawab Abd'l Muttalib.

Aminah masih menunggu akan menyerahkan anaknya itu kepada
salah seorang Keluarga Sa'd yang akan menyusukan anaknya,
sebagaimana sudah menjadi kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab
di Mekah. Adat demikian ini masih berlaku pada
bangsawan-bangsawan Mekah. Pada hari kedelapan sesudah
dilahirkan anak itupun dikirimkan ke pedalaman dan baru
kembali pulang ke kota sesudah ia berumur delapan atau sepuluh
tahun. Di kalangan kabilah-kabilah pedalaman yang terkenal
dalam menyusukan ini di antaranya ialah kabilah Banu Sa'd.
Sementara masih menunggu orang yang akan menyusukan itu Aminah
menyerahkan anaknya kepada Thuwaiba, budak perempuan pamannya,
Abu Lahab. Selama beberapa waktu ia disusukan, seperti Hamzah
yang juga kemudian disusukannya. Jadi mereka adalah saudara
susuan.

Sekalipun Thuwaiba hanya beberapa hari saja menyusukan, namun
ia tetap memelihara hubungan yang baik sekali selama hidupnya.
Setelah wanita itu meninggal pada tahun ketujuh sesudah ia
hijrah ke Medinah, untuk meneruskan hubungan baik itu ia
menanyakan tentang anaknya yang juga menjadi saudara susuan.
Tetapi kemudian ia mengetahui bahwa anak itu juga sudah
meninggal sebelum ibunya.

Akhirnya datang juga wanita-wanita Keluarga Sa'd yang akan
menyusukan itu ke Mekah. Mereka memang mencari bayi yang akan
mereka susukan. Akan tetapi mereka menghindari anak-anak
yatim. Sebenarnya mereka masih mengharapkan sesuatu jasa dari
sang ayah. Sedang dari anak-anak yatim sedikit sekali yang
dapat mereka harapkan. Oleh karena itu di antara mereka itu
tak ada yang mau mendatangi Muhammad. Mereka akan mendapat
hasil yang lumayan bila mendatangi keluarga yang dapat mereka
harapkan.

Akan tetapi Halimah bint Abi-Dhua'ib yang pada mulanya menolak
Muhammad, seperti yang lain-lain juga, ternyata tidak mendapat
bayi lain sebagai gantinya. Di samping itu karena dia memang
seorang wanita yang kurang mampu, ibu-ibu lainpun tidak
menghiraukannya. Setelah sepakat mereka akan meninggalkan
Mekah. Halimah berkata kepada Harith bin Abd'l-'Uzza suaminya:
"Tidak senang aku pulang bersama dengan teman-temanku tanpa
membawa seorang bayi. Biarlah aku pergi kepada anak yatim itu
dan akan kubawa juga."

"Baiklah," jawab suaminya. "Mudah-mudahan karena itu Tuhan
akan memberi berkah kepada kita."

Halimah kemudian mengambil Muhammad dan dibawanya pergi
bersama-sama dengan teman-temannya ke pedalaman. Dia
bercerita, bahwa sejak diambilnya anak itu ia merasa mendapat
berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan susunyapun
bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya.

Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara, disusukan oleh
Halimah dan diasuh oleh Syaima', puterinya. Udara sahara dan
kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat sekali
menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan
badannya. Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya disapih,
Halimah membawa anak itu kepada ibunya dan sesudah itu
membawanya kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan karena
kehendak ibunya, kata sebuah keterangan, dan keterangan lain
mengatakan karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa kembali
supaya lebih matang, juga memang dikuatirkan dari adanya
serangan wabah Mekah.

Dua tahun lagi anak itu tinggal di sahara, menikmati udara
pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu
ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.

Pada masa itu, sebelum usianya mencapai tiga tahun, ketika
itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang. Yakni,
bahwa sementara ia dengan saudaranya yang sebaya sesama
anak-anak itu sedang berada di belakang rumah di luar
pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak yang dari Keluarga Sa'd
itu kembali pulang sambil berlari, dan berkata kepada
ibu-bapanya: "Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil
oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan,
perutnya dibedah, sambil di balik-balikan."

Dan tentang Halimah ini ada juga diceritakan, bahwa mengenai
diri dan suaminya ia berkata: "Lalu saya pergi dengan ayahnya
ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya
pucat-pasi. Kuperhatikan dia. demikian juga ayahnya. Lalu kami
tanyakan: "Kenapa kau, nak?" Dia menjawab: "Aku didatangi oleh
dua orang laki-laki berpakaian putih. Aku di baringkan, lalu
perutku di bedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu
aku apa yang mereka cari."

Halimah dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu sangat
ketakutan, kalau-kalau anak itu sudah kesurupan. Sesudah itu,
dibawanya anak itu kembali kepada ibunya di Mekah. Atas
peristiwa ini Ibn Ishaq membawa sebuah Hadis Nabi sesudah
kenabiannya. Tetapi dalam menceritakan peristiwa ini Ibn Ishaq
nampaknya hati-hati sekali dan mengatakan bahwa sebab
dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua
malaikat itu, melainkan - seperti cerita Halimah kepada Aminah
- ketika ia di bawa pulang oleh Halimah sesudah disapih, ada
beberapa orang Nasrani Abisinia memperhatikan Muhammad dan
menanyakan kepada Halimah tentang anak itu. Dilihatnya
belakang anak itu, lalu mereka berkata:

"Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri kami.
Anak ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui
keadaannya." Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri dari
mereka dengan membawa anak itu. Demikian juga cerita yang
dibawa oleh Tabari, tapi ini masih di ragukan; sebab dia
menyebutkan Muhammad dalam usianya itu, lalu kembali
menyebutkan bahwa hal itu terjadi tidak lama sebelum
kenabiannya dan usianya empatpuluh tahun.

Baik kaum Orientalis maupun beberapa kalangan kaum Muslimin
sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat ini dan
menganggap sumber itu lemah sekali. Yang melihat kedua
laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah itu
hanya anak-anak yang baru dua tahun lebih sedikit umurnya.
Begitu juga umur Muhammad waktu itu. Akan tetapi sumber-sumber
itu sependapat bahwa Muhammad tinggal di tengah-tengah
Keluarga Sa'd itu sampai mencapai usia lima tahun. Andaikata
peristiwa itu terjadi ketika ia berusia dua setengah tahun,
dan ketika itu Halimah dan suaminya mengembalikannya kepada
ibunya, tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita
itu yang tak dapat diterima. Oleh karena itu beberapa penulis
berpendapat, bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga
kalinya.

Dalam hal ini Sir William Muir tidak mau menyebutkan cerita
tentang dua orang berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan,
bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya suatu
gangguan kepada anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu
gangguan krisis urat-saraf, dan kalau hal itu tidak sampai
mengganggu kesehatannya ialah karena bentuk tubuhnya yang
baik. Barangkali yang lainpun akan berkata: Baginya tidak
diperlukan lagi akan ada yang harus membelah perut atau
dadanya, sebab sejak dilahirkan Tuhan sudah mempersiapkannya
supaya menjalankan risalahNya. Dermenghem berpendapat, bahwa
cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari yang diketahui
orang dari teks ayat yang berbunyi: "Bukankah sudah Kami
lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang
telah memberati punggungmu?" (Qur'an 94: 1-3)

Apa yang telah diisyaratkan Qur'an itu adalah dalam arti
rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan (menyucikan)
dan mencuci hati yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian
meneruskannya seikhlas-ikhlasnya, dengan menanggung segala
beban karena Risalah yang berat itu.

Dengan demikian apa yang diminta oleh kaum Orientalis dan
pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup
Muhammad adalah sifatnya manusia semata-mata dan bersifat peri
kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu
memang tidak perlu ia harus bersandar kepada apa yang biasa
dilakukan oleh mereka yang suka kepada yang ajaib-ajaib.
Dengan demikian mereka beralasan sekali menolak tanggapan
penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi
yang tidak masuk akal itu. Mereka berpendapat bahwa apa yang
dikemukakan itu tidak sejalan dengan apa yang diminta oleh
Qur'an supaya merenungkan ciptaan Tuhan, dan bahwa
undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Tidak sesuai
dengan ekspresi Qur'an tentang kaum Musyrik yang tidak mau
mendalami dan tidak mau mengerti juga.

Muhammad tinggal pada Keluarga Sa'd sampai mencapai usia lima
tahun, menghirup jiwa kebebasan dan kemerdekaan dalam udara
sahara yang lepas itu. Dari kabilah ini ia belajar
mempergunakan bahasa Arab yang murni, sehingga pernah ia
mengatakan kepada teman-temannya kemudian: "Aku yang paling
fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di
tengah-tengah Keluarga Sa'd bin Bakr."

Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan
yang indah sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu
Halimah dan keluarganya tempat dia menumpahkan rasa kasih
sayang dan hormat selama hidupnya itu.

Penduduk daerah itu pernah mengalami suatu masa paceklik
sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana Halimah
kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta
Khadijah berupa unta yang dimuati air dan empat puluh ekor
kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang
paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda
penghormatan. Ketika Syaima, puterinya berada di bawah tawanan
bersama-sama pihak Hawazin setelah Ta'if dikepung, kemudian
dibawa kepada Muhammad, ia segera mengenalnya. Ia dihormati
dan dikembalikan kepada keluarganya sesuai dengan keinginan
wanita itu.

Sesudah lima tahun, kemudian Muhammad kembali kepada ibunya.
Dikatakan juga, bahwa Halimah pernah mencari tatkala ia sedang
membawanya pulang ketempat keluarganya tapi tidak
menjumpainya. Ia mendatangi Abd'l-Muttalib dan memberitahukan
bahwa Muhammad telah sesat jalan ketika berada di hulu kota
Mekah. Lalu Abd'l-Muttalibpun menyuruh orang mencarinya, yang
akhirnya dikembalikan oleh Waraqa bin Naufal, demikian
setengah orang berkata.

Kemudian Abd'l-Muttalib yang bertindak mengasuh cucunya itu.
Ia memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala
kasih-sayangnya kepada cucu ini. Biasanya buat orang tua itu -
pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin Mekah - diletakkannya
hamparan tempat dia duduk di bawah naungan Ka'bah, dan
anak-anaknya lalu duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai
penghormatan kepada orang tua. Tetapi apabila Muhammad yang
datang maka didudukkannya ia di sampingnya diatas hamparan itu
sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa besarnya
rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya
di belakang dari tempat mereka duduk itu.

Lebih-lebih lagi kecintaan kakek itu kepada cucunya ketika
Aminah kemudian membawa anaknya itu ke Medinah untuk
diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak
Keluarga Najjar.

Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan
yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Medinah
kepada anak itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal
dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali
ia merasakan sebagai anak yatim. Dan barangkali juga ibunya
pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta
itu, yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama,
kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari pihak
ibu. Sesudah Hijrah pernah juga Nabi menceritakan kepada
sahabat-sahabatnya kisah perjalanannya yang pertama ke Medinah
dengan ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Medinah, kisah
yang penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.

Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah sudah
bersiap-siap akan pulang. Ia dan rombongan kembali pulang
dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di
tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa',2 ibunda
Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan
pula di tempat itu.

Anak itu oleh Umm Aiman dibawa pulang ke Mekah, pulang
menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa
kehilangan; sudah ditakdirkan menjadi anak yatim. Terasa
olehnya hidup yang makin sunyi, makin sedih. Baru beberapa
hari yang lalu ia mendengar dari Ibunda keluhan duka
kehilangan Ayahanda semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia
melihat sendiri dihadapannya, ibu pergi untuk tidak kembali
lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini
dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.

Lebih-lebih lagi kecintaan Abd'l-Muttalib kepadanya. Tetapi
sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu
bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam
Qur'anpun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan
nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu: "Bukankah engkau
dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya orang yang akan
melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu
ditunjukkanNya jalan itu?" (Qur'an, 93: 6-7)

Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan terasa agak
meringankan juga sedikit, sekiranya Abd'l-Muttalib masih dapat
hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua itu juga meninggal,
dalam usia delapanpuluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru
berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung
kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah
dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia,
sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda
jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.

Bahkan sesudah itupun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun
sesudah itu, di bawah asuhan Abu Talib pamannya ia mendapat
perhatian dan pemeliharaan yang baik sekali, mendapat
perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus demikian
sampai pamannya itupun achirnya meninggal.

Sebenarnya kematian Abd'l-Muttalib ini merupakan pukulan berat
bagi Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada
yang seperti dia: mempunyai keteguhan hati, kewibawaan,
pandangan yang tajam, terhormat dan berpengaruh di kalangan
Arab semua. Dia menyediakan makanan dan minuman bagi mereka
yang datang berziarah, memberikan bantuan kepada penduduk
Mekah bila mereka mendapat bencana. Sekarang ternyata tak ada
lagi dari anak-anaknya itu yang akan dapat meneruskan. Yang
dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan itu, sedang yang
kaya hidupnya kikir sekali. Oleh karena itu maka Keluarga
Umaya yang lalu tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan
yang memang sejak dulu diinginkan itu, tanpa menghiraukan
ancaman yang datang dari pihak Keluarga Hasyim.

Pengasuhan Muhammad di pegang oleh Abu Talib, sekalipun dia
bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua
adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas
yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena
itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus
rifada (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu
Talib mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di
kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan kalau
Abd'l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu
Talib.

Abu Talib mencintai kemenakannya itu sama seperti
Abd'l-Muttalib juga. Karena kecintaannya itu ia mendahulukan
kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad
yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang
lebih menarik hati pamannya. Pernah pada suatu ketika ia akan
pergi ke Syam membawa dagangan - ketika itu usia Muhammad baru
duabelas tahun - mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi
padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan membawa Muhammad.
Akan tetapi Muhammad yang dengan ikhlas menyatakan akan
menemani pamannya itu, itu juga yang menghilangkan sikap
ragu-ragu dalam hati Abu Talib.

Anak itu lalu turut serta dalam rombongan kafilah, hingga
sampai di Bushra di sebelah selatan Syam. Dalam buku-buku
riwayat hidup Muhammad diceritakan, bahwa dalam perjalanan
inilah ia bertemu dengan rahib Bahira, dan bahwa rahib itu
telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan
petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan,
bahwa rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan
terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan
orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan
berbuat jahat terhadap dia.

Dalam perjalanan itulah sepasang mata Muhammad yang indah itu
melihat luasnya padang pasir, menatap bintang-bintang yang
berkilauan di langit yang jernih cemerlang. Dilaluinya
daerah-daerah Madyan, Wadit'l-Qura serta peninggalan
bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dengan telinganya yang
tajam segala cerita orang-orang Arab dan penduduk pedalaman
tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau.
Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun
yang lebat dengan buab-buahan yang sudah masak, yang akan
membuat ia lupa akan kebun-kebun di Ta'if serta segala cerita
orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya
dengan dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di
sekeliling Mekah itu. Di Syam ini juga Muhammad mengetahui
berita-berita tentang Kerajaan Rumawi dan agama Kristennya,
didengarnya berita tentang Kitab Suci mereka serta oposisi
Persia dari penyembah api terhadap mereka dan persiapannya
menghadapi perang dengan Persia.

Sekalipun usianya baru dua belas tahun, tapi dia sudah
mempunyai persiapan kebesaran jiwa, kecerdasan dan ketajaman
otak, sudah mempunyai tinjauan yang begitu dalam dan ingatan
yang cukup kuat serta segala sifat-sifat semacam itu yang
diberikan alam kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima
risalah (misi) maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat
ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki, meneliti. Ia tidak
puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya
kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?

Tampaknya Abu Talib tidak banyak membawa harta dari
perjalanannya itu. Ia tidak lagi mengadakan perjalanan
demikian. Malah sudah merasa cukup dengan yang sudah
diperolehnya itu. Ia menetap di Mekah mengasuh anak-anaknya
yang banyak sekalipun dengan harta yang tidak seberapa.
Muhammad juga tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada.
Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang
seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di
Mekah dengan keluarga, kadang pergi bersama mereka ke
pekan-pekan yang berdekatan dengan 'Ukaz, Majanna dan
Dhu'l-Majaz, mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh
penyair-penyair Mudhahhabat dan Mu'allaqat.3 Pendengarannya
terpesona oleh sajak-sajak yang fasih melukiskan lagu cinta
dan puisi-puisi kebanggaan, melukiskan nenek moyang mereka,
peperangan mereka, kemurahan hati dan jasa-jasa mereka.
Didengarnya ahli-ahli pidato di antaranya orang-orang Yahudi
dan Nasrani yang membenci paganisma Arab. Mereka bicara
tentang Kitab-kitab Suci Isa dan Musa, dan mengajak kepada
kebenaran menurut keyakinan mereka. Dinilainya semua itu
dengan hati nuraninya, dilihatnya ini lebih baik daripada
paganisma yang telah menghanyutkan keluarganya itu. Tetapi
tidak sepenuhnya ia merasa lega.

Dengan demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya
ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat
mula pertama datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia
menyampaikan risalahNya itu. Yakni risalah kebenaran dan
petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Kalau Muhammad sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir
dengan pamannya Abu Talib, sudah mendengar para penyair,
ahli-ahli pidato membacakan sajak-sajak dan pidato-pidato
dengan keluarganya dulu di pekan sekitar Mekah selama
bulan-bulan suci, maka ia juga telah mengenal arti memanggul
senjata, ketika ia mendampingi paman-pamannya dalam Perang
Fijar. Dan Perang Fijar itulah di antaranya yang telah
menimbulkan dan ada sangkut-pautnya dengan peperangan di
kalangan kabilah-kabilah Arab. Dinamakan al-fijar4 ini karena
ia terjadi dalam bulan-bulan suci, pada waktu kabilah-kabilah
seharusnya tidak boleh berperang. Pada waktu itulah
pekan-pekan dagang diadakan di 'Ukaz, yang terletak antara
Ta'if dengan Nakhla dan antara Majanna dengan Dhu'l-Majaz,
tidak jauh dari 'Arafat. Mereka di sana saling tukar menukar
perdagangan, berlumba dan berdiskusi, sesudah itu kemudian
berziarah ke tempat berhala-berhala mereka di Ka'bah. Pekan
'Ukaz adalah pekan yang paling terkenal di antara pekan-pekan
Arab lainnya. Di tempat itu penyair-penyair terkemuka
membacakan sajak-sajaknya yang terbaik, di tempat itu Quss
(bin Sa'ida) berpidato dan di tempat itu pula orang-orang
Yahudi, Nasrani dan penyembah-penyembah berhala masing-masing
mengemukakan pandangan dengan bebas, sebab bulan itu bulan
suci.

Akan tetapi Barradz bin Qais dari kabilah Kinana tidak lagi
menghormati bulan suci itu dengan mengambil kesempatan
membunuh 'Urwa ar-Rahhal bin 'Utba dari kabilah Hawazin.
Kejadian ini disebabkan oleh karena Nu'man bin'l-Mundhir
setiap tahun mengirimkan sebuah kafilah dari Hira ke 'Ukaz
membawa muskus, dan sebagai gantinya akan kembali dengan
membawa kulit hewan, tali, kain tenun sulam Yaman. Tiba-tiba
Barradz tampil sendiri dan membawa kafilah itu ke bawah
pengawasan kabilah Kinana. Demikian juga 'Urwa lalu tampil
pula sendiri dengan melintasi jalan Najd menuju Hijaz.

Adapun pilihan Nu'man terhadap 'Urwa (Hawazin) ini telah
menimbulkan kejengkelan Barradz (Kinana), yang kemudian
mengikutinya dari belakang, lalu membunuhnya dan mengambil
kabilah itu. Sesudah itu kemudian Barradz memberitahukan
kepada Basyar bin Abi Hazim, bahwa pihak Hawazin akan menuntut
balas kepada Quraisy. Fihak Hawazin segera menyusul Quraisy
sebelum masuknya bulan suci. Maka terjadilah perang antara
mereka itu. Pihak Quraisy mundur dan menggabungkan diri dengan
pihak yang menang di Mekah. Pihak Hawazin memberi peringatan
bahwa tahun depan perang akan diadakan di 'Ukaz.

Perang demikian ini berlangsung antara kedua belah pihak
selama empat tahun terus-menerus dan berakhir dengan suatu
perdamaian model pedalaman, yaitu yang menderita korban
manusia lebih kecil harus membayar ganti sebanyak jumlah
kelebihan korban itu kepada pihak lain. Maka dengan demikian
Quraisy telah membayar kompensasi sebanyak duapuluh orang
Hawazin. Nama Barradz ini kemudian menjadi peribahasa yang
menggambarkan kemalangan. Sejarah tidak memberikan kepastian
mengenai umur Muhammad pada waktu Perang Fijar itu terjadi.
Ada yang mengatakan umurnya limabelas tahun, ada juga yang
mengatakan duapuluh tahun. Mungkin sebab perbedaan ini karena
perang tersebut berlangsung selama empat tahun. Pada tahun
permulaan ia berumur limabelas tahun dan pada tahun
berakhirnya perang itu ia sudah memasuki umur duapuluh tahun.

Juga orang berselisih pendapat mengenai tugas yang dipegang
Muhammad dalam perang itu. Ada yang mengatakan tugasnya
mengumpulkan anak-anak panah yang datang dari pihak Hawazin
lalu di berikan kepada paman-pamannya untuk dibalikkan kembali
kepada pihak lawan. Yang lain lagi berpendapat, bahwa dia
sendiri yang ikut melemparkan panah. Tetapi, selama peperangan
tersebut telah berlangsung sampai empat tahun, maka kebenaran
kedua pendapat itu dapat saja diterima. Mungkin pada mulanya
ia mengumpulkan anak-anak panah itu untuk pamannya dan
kemudian dia sendiripun ikut melemparkan. Beberapa tahun
sesudah kenabiannya Rasulullah menyebutkan tentang Perang
Fijar itu dengan berkata: "Aku mengikutinya bersama dengan
paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam perang itu;
sebab aku tidak suka kalau tidak juga aku ikut melaksanakan."

Sesudah Perang Fijar Quraisy merasakan sekali bencana yang
menimpa mereka dan menimpa Mekah seluruhnya, yang disebabkan
oleh perpecahan, sesudah Hasyim dan 'Abd'l-Muttalib wafat, dan
masing-masing pihak berkeras mau jadi yang berkuasa. Kalau
tadinya orang-orang Arab itu menjauhi, sekarang mereka berebut
mau berkuasa. Atas anjuran Zubair bin 'Abd'l-Muttalib di rumah
Abdullah bin Jud'an diadakan pertemuan dengan mengadakan
jamuan makan, dihadiri oleh keluarga-keluarga Hasyim, Zuhra
dan Taym. Mereka sepakat dan berjanji atas nama Tuhan Maha
Pembalas, bahwa Tuhan akan berada di pihak yang teraniaya
sampai orang itu tertolong. Muhammad menghadiri pertemuan itu
yang oleh mereka disebut Hilf'l-Fudzul. Ia mengatakan, "Aku
tidak suka mengganti fakta yang kuhadiri di rumah Ibn Jud'an
itu dengan jenis unta yang baik. Kalau sekarang aku diajak
pasti kukabulkan."

Seperti kita lihat, Perang Fijar itu berlangsung hanya
beberapa hari saja tiap tahun. Sedang selebihnya masyarakat
Arab kembali ke pekerjaannya masing-masing. Pahit-getirnya
peperangan yang tergores dalam hati mereka tidak akan
menghalangi mereka dari kegiatan perdagangan, menjalankan
riba, minum minuman keras serta pelbagai macam kesenangan dan
hiburan sepuas-puasnya

Adakah juga Muhammad ikut serta dengan mereka dalam hal ini?
Ataukah sebaliknya perasaannya yang halus, kemampuannya yang
terbatas serta asuhan pamannya membuatnya jadi menjauhi semua
itu, dan melihat segala kemewahan dengan mata bernafsu tapi
tidak mampu? Bahwasanya dia telah menjauhi semua itu, sejarah
cukup menjadi saksi. Yang terang ia menjauhi itu bukan karena
tidak mampu mencapainya. Mereka yang tinggal di pinggiran
Mekah, yang tidak mempunyai mata pencarian, hidup dalam
kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu.
Bahkan di antaranya lebih gila lagi dari pemuka-pemuka Mekah
dan bangsawan-bangsawan Quraisy dalam menghanyutkan diri ke
dalam kesenangan demikian itu.

Akan tetapi jiwa Muhammad adalah jiwa yang ingin melihat,
ingin mendengar, ingin mengetahui. Dan seolah tidak ikut
sertanya ia belajar seperti yang dilakukan teman-temannya dari
anak-anak bangsawan menyebabkan ia lebih keras lagi ingin
memiliki pengetahuan. Karena jiwanya yang besar, yang kemudian
pengaruhnya tampak berkilauan menerangi dunia, jiwa besar yang
selalu mendambakan kesempurnaan, itu jugalah yang menyebabkan
dia menjauhi foya-foya, yang biasa menjadi sasaran utama
pemduduk Mekah. Ia mendambakan cahaya hidup yang akan lahir
dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya
hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini dibuktikan oleh
julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada
dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia kanak-kanak gejala
kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hati sudah tampak,
sehingga penduduk Mekah semua memanggilnya Al-Amin (artinya
'yang dapat dipercaya').

Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir, ialah
pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya
itu. Dia menggembalakan kambing keluarganya dan kambing
penduduk Mekah. Dengan rasa gembira ia menyebutkan saat-saat
yang dialaminya pada waktu menggembala itu. Di antaranya ia
berkata: "Nabi-nabi yang diutus Allah itu gembala kambing."
Dan katanya lagi: "Musa diutus, dia gembala kambing, Daud
diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala kambing
keluargaku di Ajyad."

Gembala kambing yang berhati terang itu, dalam udara yang
bebas lepas di siang hari, dalam kemilau bintang bila malam
sudah bertahta, menemukan suatu tempat yang serasi untuk
pemikiran dan permenungannya. Ia menerawang dalam suasana alam
demikian itu, karena ia ingin melihat sesuatu di balik semua
itu. Dalam pelbagai manifestasi alam ia mencari suatu
penafsiran tentang penciptaan semesta ini. Ia melihat dirinya
sendiri. Karena hatinya yang terang, jantungnya yang hidup, ia
melihat dirinya tidak terpisah dari alam semesta itu. Bukankah
juga ia menghirup udaranya, dan kalau tidak demikian berarti
kematian? Bukankah ia dihidupkan oleh sinar matahari,
bermandikan cahaya bulan dan kehadirannya berhubungan dengan
bintang-bintang dan dengan seluruh alam? Bintang-bintang dan
semesta alam yang tampak membentang di depannya, berhubungan
satu dengan yang lain dalam susunan yang sudah ditentukan,
matahari tiada seharusnya dapat mengejar bulan atau malam akan
mendahului siang. Apabila kelompok kambing yang ada di depan
Muhammad itu memintakan kesadaran dan perhatiannya supaya
jangan ada serigala yang akan menerkam domba itu, jangan
sampai - selama tugasnya di pedalaman itu - ada domba yang
sesat, maka kesadaran dan kekuatan apakah yang menjaga susunan
alam yang begitu kuat ini?

Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala
pemikiran nafsu manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari
itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas
di hadapannya. Oleh karena itu, dalam perbuatan dan
tingkah-lakunya Muhammad terhindar dari segala penodaan nama
yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Mekah, dan memang
begitu adanya: Al-Amin.

Semua ini dibuktikan oleh keterangan yang diceritakannya
kemudian, bahwa ketika itu ia sedang menggembala kambing
dengan seorang kawannya. Pada suatu hari hatinya berkata,
bahwa ia ingin bermain-main seperti pemuda-pemuda lain. Hal
ini dikatakannya kepada kawannya pada suatu senja, bahwa ia
ingin turun ke Mekah, bermain-main seperti para pemuda di
gelap malam, dan dimintanya kawannya menjagakan kambing
ternaknya itu. Tetapi sesampainya di ujung Mekah, perhatiannya
tertarik pada suatu pesta perkawinan dan dia hadir di tempat
itu. Tetapi tiba-tiba ia tertidur. Pada malam berikutnya
datang lagi ia ke Mekah, dengan maksud yang sama. Terdengar
olehnya irama musik yang indah, seolah turun dari langit. Ia
duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi sampai pagi.

Jadi apakah gerangan pengaruh segala daya penarik Mekah itu
terhadap kalbu dan jiwa yang begitu padat oleh pikiran dan
renungan? Gerangan apa pula artinya segala daya penarik yang
kita gambarkan itu yang juga tidak disenangi oleh mereka yang
martabatnya jauh di bawah Muhammad?

Karena itu ia terhindar dari cacat. Yang sangat terasa benar
nikmatnya, ialah bila ia sedang berpikir atau merenung. Dan
kehidupan berpikir dan merenung serta kesenangan bekerja
sekadarnya seperti menggembalakan kambing, bukanlah suatu cara
hidup yang membawa kekayaan berlimpah-limpah baginya. Dan
memang tidak pernah Muhammad mempedulikan hal itu. Dalam
hidupnya ia memang menjauhkan diri dari segala pengaruh
materi. Apa gunanya ia mcngejar itu padahal sudah menjadi
bawaannya ia tidak pernah tertarik? Yang diperlukannya dalam
hidup ini asal dia masih dapat menyambung hidupnya.

Bukankah dia juga yang pernahh berkata: "Kami adalah golongan
yang hanya makan bila merasa lapar, dan bila sudah makan tidak
sampai kenyang?" Bukankah dia juga yang sudah dikenal orang
hidup dalam kekurangan selalu dan minta supaya orang
bergembira menghadapi penderitaan hidup? Cara orang mengejar
harta dengan serakah hendak memenuhi hawa nafsunya, sama
sekali tidak pernah dikenal Muhammad selama hidupnya.
Kenikmatan jiwa yang paling besar, ialah merasakan adanya
keindahan alam ini dan mengajak orang merenungkannya. Suatu
kenikmatan besar, yang hanya sedikit saja dikenal orang.
Kenikmatan yang dirasakan Muhammad sejak masa pertumbuhannya
yang mula-mula yang telah diperlihatkan dunia sejak masa
mudanya adalah kenangan yang selalu hidup dalam jiwanya, yang
mengajak orang hidup tidak hanya mementingkan dunia. Ini
dimulai sejak kematian ayahnya ketika ia masih dalam
kandungan, kemudian kematian ibunya, kemudian kematian
kakeknya. Kenikmatan demikian ini tidak memerlukan harta
kekayaan yang besar, tetapi memerlukan suatu kekayaan jiwa
yang kuat. sehingga orang dapat mengetahui: bagaimana ia
memelihara diri dan menyesuaikannya dengan kehidupan batin.

Andaikata pada waktu itu Muhammad dibiarkan saja begitu, tentu
takkan tertarik ia kepada harta. Dengan keadaannya itu ia akan
tetap bahagia, seperti halnya dengan gembala-gembala pemikir,
yang telah menggabungkan alam ke dalam diri mereka dan telah
pula mereka berada dalam pelukan kalbu alam.

Akan tetapi Abu Talib pamannya - seperti sudah kita sebutkan
tadi -hidup miskin dan banyak anak. Dari kemenakannya itu ia
mengharapkan akan dapat memberikan tambahan rejeki yang akan
diperoleh dari pemilik-pemilik kambing yang kambingnya
digembalakan. Suatu waktu ia mendengar berita, bahwa Khadijah
bint Khuwailid mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan
perdagangannya. Khadijah adalah seorang wanita pedagang yang
kaya dan dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan
hartanya itu. Berasal dari Keluarga (Banu) Asad, ia bertambah
kaya setelah dua kali ia kawin dengan keluarga Makhzum,
sehingga dia menjadi seorang penduduk Mekah yang terkaya. Ia
menjalankan dagangannya itu dengan bantuan ayahnya Khuwailid
dan beberapa orang kepercayaannya. Beberapa pemuka Quraisy
pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. Ia yakin mereka itu
melamar hanya karena memandang hartanya. Sungguhpun begitu
usahanya itu terus dikembangkan.

Tatkala Abu Talib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan
perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam, ia
memanggil kemenakannya - yang ketika itu sudah berumur
duapuluh lima tahun.

"Anakku," kata Abu Talib, "aku bukan orang berpunya. Keadaan
makin menekan kita juga. Aku mendengar, bahwa Khadijah
mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi aku tidak
setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga. Setujukah
kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?"

"Terserah paman," jawab Muhammad.

Abu Talibpun pergi mengunjungi Khadijah:

"Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?" tanya Abu Talib.
"Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta
Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor."

"Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak
kusukai, akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan
kusukai." Demikian jawab Khadijah.

Kembalilah sang paman kepada kemenakannya dengan menceritakan
peristiwa itu. "Ini adalah rejeki yang dilimpahkan Tuhan
kepadamu," katanya.

Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muhammad pergi dengan
Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir
kafilah itupun berangkat menuju Syam, dengan melalui
Wadi'l-Qura, Madyan dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang
dulu pernah dilalui Muhammad dengan pamannya Abu Talib tatkala
umurnya baru duabelas tahun.

Perjalanan sekali ini telah menghidupkan kembali kenangannya
tentag perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini menambah dia
lebih banyak bermenung, lebih banyak berpikir tentang segala
yang pernah dilihat, yang pernah didengar sebelumnya: tentang
peribadatan dan kepercayaan-kepercayaan di Syam atau di
pasar-pasar sekeliling Mekah.

Setelah sampai di Bushra ia bertemu dengan agama Nasrani Syam.
Ia bicara dengan rahib-rahib dan pendeta-pendeta agama itu,
dan seorang rahib Nestoria juga mengajaknya bicara. Barangkali
dia atau rahib-rahib lain pernah juga mengajak Muhammad
berdebat tentang agama Isa, agama yang waktu itu sudah
berpecah-belah menjadi beberapa golongan dan sekta-sekta -
seperti sudah kita uraikan di atas.

Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu
benar memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara
perdagangan yang lebih banyak menguntungkan daripada yang
dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter
yang manis dan perasaannya yang luhur ia dapat menarik
kecintaan dan penghormatan Maisara kepadanya. Setelah tiba
waktunya mereka akan kembali, mereka membeli segala barang
dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah.

Dalam perjalanan kembali kafilah itu singgah di
Marr'-z-Zahran. Ketika itu Maisara berkata: "Muhammad,
cepat-cepatlah kau menemui Khadijah dan ceritakan
pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu."

Muhammad berangkat dan tengah hari sudah sampai di Mekah.
Ketika itu Khadijah sedang berada di ruang atas. Bila
dilihatnya Muhammad di atas unta dan sudah memasuki halaman
rumahnya. ia turun dan menyambutnya. Didengarnya Muhammad
bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang
perjalanannya serta laba yang diperolehnya, demikian juga
mengenai barang-barang Syam yang dibawanya. Khadijah gembira
dan tertarik sekali mendengarkan. Sesudah itu Maisarapun
datang pula yang lalu bercerita juga tentang Muhammad, betapa
halusnya wataknya, betapa tingginya budi-pekertinya. Hal ini
menambah pengetahuan Khadijah di samping yang sudah
diketahuinya sebagai pemuda Mekah yang besar jasanya.

Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah
berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia - yang sudah berusia
empatpuluh tahun, dan yang sebelum itu telah menolak lamaran
pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy - tertarik juga
hatinya mengawini pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan
matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia membicarakan hal
itu kepada saudaranya yang perempuan - kata sebuah sumber,
atau dengan sahabatnya, Nufaisa bint Mun-ya - kata sumber
lain. Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata: "Kenapa
kau tidak mau kawin?"

"Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan," jawab
Muhammad.

"Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta,
terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?"

"Siapa itu?"

Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata: "Khadijah."

"Dengan cara bagaimana?" tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri
berkenan kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi
memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak
permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy.

Setelah atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: "Serahkan hal
itu kepadaku," maka iapun menyatakan persetujuannya. Tak lama
kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri
oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga
Khadijah guna menentukan hari perkawinan.

Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman
Khadijah, Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah
meninggal sebelum Perang Fijar. Hal ini dengan sendirinya
telah membantah apa yang biasa dikatakan, bahwa ayahnya ada
tapi tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadijah telah
memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan dengan begitu
perkawinannya dengan Muhammad kemudian dilangsungkan.

Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad.
Dimulainya kehidupan itu sebagai suami-isteri dan ibu-bapa,
suami-isten yang harmonis dan sedap dari kedua belah pihak,
dan sebagai ibu-bapa yang telah merasakan pedihnya kehilangan
anak sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan
ibu-bapa semasa ia masih kecil.

Catatan kaki:

1 Muhammad atau Mahmud artinya yang terpuji (A).
2 Abwa' ialah sebuah desa antara Medinah dengan Juhfa,
jaraknya 23 mil (37 km) dari Medinah.
3 Al-Mu'allaqat nama yang diberikan kepada tujuh buah kumpulan
puisi Arab pra Islam yang dianggap terbaik, oleh tujuh
penyair: Imr'l-Qais, Tarafa, Zuhair, Labid, 'Antara, 'Amr ibn
Kulthum dan Harith ibn Hilizza. Mu'allaqat berarti 'yang
digantungkan' yakni sajak-sajak yang ditulis dengan tinta emas
(almudhahhab) di atas kain lina (A).
4 Pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku (A).


Nama Sahabat Muhammad Saw

Abbad bin Bisyir
Abbas bin 'Abdul Muthalib
Abdullah bin Abbas
Abdullah bin 'Amr bin Ash
Abdullah bin Mas'ud
Abdullah bin Umar
Abdullah bin Zubair
Abdullah Ibnu Rawahah
Abdurrahaman bin 'Auf
Abdurrahman bin Abi Bakar
Abu Ayyub Al Anshori
Abu Bakar
Abu Bakar Ashshiddiq
Abu Darda'
Abu Dzar Alghifari
Abu Hurairah
Abu Jabir 'Abdullah bin 'Amr bin Haram
Abu Musa Al Asy'ari
Abu Sufyan bin Harits
Abu 'Ubadah Ibnul Jarrah
Albarra' bin Malik
Ammar bin Yasir
Amr bin 'Ash
Amr ibnul Jamuh
Bilal bin Rabah
Dhomrah


my keyword:
sejarah nabi muhammad
kisah nabi muhhamad
nabi muhhamas history
perjalanan nabi muhhamad

pak gunawan

sumber:dian-amanah-yog.sch.id Baca Selengkapnya..

Senin, 15 Februari 2010

Memahami Surat Al Falaq


Surat al-Falaq terdiri dari lima ayat dan tergolong makkiyyah (diturunkan sebelum hijrah). Bersama surat an-Nas, ia disebut al-Mu’awwidzatain. Disebut demikian karena keduanya mengandung ta’widz (perlindungan). Keduanya termasuk surat yang utama dalam Al-Qur’an. Keutamaan surat al-Falaq selalu disebut bersamaan
dengan surat an-Nas.
Keutamaan al-Mu’awwidzatainDalam Shahih-nya, Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tahukah engkau ayat-ayat yang telah diturunkan malam ini, tidak pernah ada yang menyerupainya sama sekali? “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung dari mata jahat jin dan manusia. Ketika turun al-Mu’awwidzatain, beliau memakainya dan meninggalkan yang lain. (dihukumi shahih oleh al-Albani)Kedua surat ini disunatkan dibaca setiap selesai shalat wajib. Dalam hadits lain, ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan,
Disunatkan juga membacanya sebelum dan sesudah tidur, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Uqbah yang lain:
(HR. Ahmad dan Ibnu Khuzaimah, dihukumi hasan oleh al-Albani)Hadits-hadits shahih juga menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan membacanya pada dzikir pagi dan sore. Beliau juga membacanya saat meruqyah diri beliau saat sakit dan disengat kalajengking. Demikian juga malaikat yang meruqyah beliau saat disihir Labid bin al-A’sham.
Tafsir Surat al-Falaq
Dalam bahasa Arab, al-falaq berarti sesuatu yang terbelah atau terpisah. Yang dimaksud dengan al-falaq dalam ayat ini adalah waktu subuh, karena makna inilah yang pertama kali terdetik dalam benak orang saat mendengar kata al-falaq. Dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk berlindung (isti’adzah) kepada Allah semata. Dia yang mampu menghilangkan kegelapan yang pekat dari seluruh alam raya di waktu subuh tentu mampu untuk melindungi para peminta perlindungan dari semua yang ditakutkan.
“Dari kejahatan apa-apa yang telah Dia ciptakan.”Ayat yang pendek ini mengandung isti’adzah dari kejahatan semua makhluk. Al-Hasan Al-Bashri berkata : “Jahannam dan iblis beserta keturunannya termasuk apa yang telah Dia ciptakan.” Kejahatan diri kita sendiri juga termasuk di dalamnya, bahkan ia yang pertama kali masuk dalam keumuman kata ini, sebagaimana dijelaskan Syaikh al-’Utsaimin. Hanya Allah yang bisa memberikan perlindungan dari semua kejahatan, karena semua makhluk di bawah kekuasaanNya.
Setelah memohon perlindungan secara umum dari semua kejahatan, kita berlindung kepada Allah dari beberapa hal secara khusus pada ayat berikut; karena sering terjadi dan kejahatan berlebih yang ada padanya. Di samping itu, ketiga hal yang disebut khusus berikut ini juga merupakan hal-hal yang samar dan tidak tampak, sehingga lebih sulit dihindari.
“Dan dari kejahatan malam apabila telah masuk dalam kegelapan.” Kata ghasiq berarti malam, berasal dari kata ghasaq yang berarti kegelapan. Kita berlindung dari kejahatan malam secara khusus, karena kejahatan lebih banyak terjadi di malam hari. Banyak penjahat yang memilih melakukan aksinya di malam hari. Demikian pula arwah jahat dan binatang-binatang yang berbahaya. “Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada tali-tali ikatan.”Para tukang sihir biasa membaca mantra dan jampi-jampi, kemudian mereka tiupkan pada tali-tali yang di ikat. Inilah yang di maksud dengan ruqyah syirik. Sihir merupakan salah satu dosa dan kejahatan terbesar, karena disamping syirik, ia juga samara dan bisa mencelakakan manusia di dunia dan akhirat. Karenanya kita berlindung secara khusus kepada Allah dari kejahatan ini.
Penyebutan wanita tukang sihir dalam bentuk muannats (feminin) dikarenakan jenis sihir ini yang paling banyak melakukannya adalah wanita. Dalam riwayat tentang sihir Labid bin al-A’sham yang ditujukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga disebutkan bahwa puteri-puteri Labid yang menghembus pada tali-tali.
“Dan dari kejahatan orang dengki apabila ia dengki.”Dengki (hasad) adalah membenci nikmat Allah atas orang lain dan menginginkan hilangnya nikmat itu darinya. Yang dimaksud dengan ‘apabila ia dengki’ adalah jika ia menunjukkan kedengkian yang ada di hatinya dan karenanya terbawa untuk membahayakan orang yang lain. Kondisi yang demikianlah yang membahayakan orang lain. Orang yang hasad akan menempuh cara yang bisa ditempuh untuk mewujudkan keinginannya. Hasad juga bisa menimbulkan mata jahat (‘ain) yang bisa membahayakan sasaran kedengkiannya. Barang yang dilihatnya juga bisa rusak atau tidak berfungsi. Karenanya, kitapun berlindung kepada Allah dari keburukan ini secara khusus.
Ada juga orang dengki yang hanya menyimpan kedengkiannya dalam hati, sehingga ia sendiri gundah dan sakit hati, tapi tidak membahayakan orang lain, sebagaimana dikatakan Umar bin Abdil Aziz: “Saya tidak melihat orang zhalim yang lebih mirip dengan orang terzhalimi daripada orang yang dengki.”
Jadi, untuk melindungi diri dari semua kejahatan kita harus menggantungkan hati kita dan berlindung hanya kepada Allah Yang Maha Kuasa, dan membiasakan diri membaca dzikir yang telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun yang sudah tahu banyak yang lalai, dan yang membacanya banyak yang tidak menghayati. Semua ini adalah bentuk kekurangan dalam beragama. Andai umat Islam memahami,mengamalkan dan menghayati sunnah ini, niscaya mereka terselamatkan dari berbagai kejahatan.
Surat ini adalah surat yang utama, dan dianjurkan dibaca setelah shalat, sebelum dan sesudah tidur, dalam dzikir pagi dan sore, juga dalam ruqyah.
Kita memohon perlindungan hanya kepada Allah dari semua kejahatan secara umum, dan beberapa hal secara khusus karena lebih sering terjadi, lebih samar atau karena mengandung bahaya yang lebih.
Mewaspadai kejahatan malam, tukang sihir dan pendengki.
Sihir dan ‘ain adalah perkara yang hakiki.

Kesimpulan:
1.Surat ini adalah surat yang utama, dan dianjurkan dibaca setelah shalat, sebelum dan sesudah tidur, dalam dzikir pagi dan sore, juga dalam ruqyah.
2.Kita memohon perlindungan hanya kepada Allah dari semua kejahatan secara umum, dan beberapa hal secara khusus karena lebih sering terjadi, lebih samar atau karena mengandung bahaya yang lebih.
3.Mewaspadai kejahatan malam, tukang sihir dan pendengki.
4.Sihir dan ‘ain adalah perkara yang hakiki.
5.Kesempurnaan agama Islam yang mengajarkan cara melindungi diri dari berbagai kejahatan.
6.Kekurangan sebagian umat Islam dalam memahami, mengamalkan dan menghayati ajaran Islam.

Gambar Surah Al-Falaq

















sumber:muslim.or.id

my keyword:
surah falaq translation
meaning of surah ikhlas
surah 113
quran on line
download quran
quran pdf
maariful quran online
yasin mp3
quran flash
surat al-falaq
pengertian surah al-falaq
isi surah al-falaq
definisi surah al-falaq
tugas agama islam

Baca Selengkapnya..

Pokok-Pokok Keimanan Kepada Hari Akhir


Iman kepada hari akhir hukumnya wajib dan kedudukannya dalam agama merupakan salah satu di antara rukun iman yang enam. Banyak sekali Allah Ta’ala menggandengkan antara iman kepada Allah dan iman kepada hari akhir, karena barangsiapa yang tidak beriman kepada hari akhir, tidak mungkin akan beriman kepada Allah. Orang yang tidak beriman dengan hari akhir tidak akan beramal, karena seseorang tidak akan beramal kecuali dia mengharapkan kenikmatan di hari akhir dan takut terhadap adzab di hari akhir.[1]
Disebut hari akhir karena pada hari itu tidak ada hari lagi setelahnya, saat itu merupakan tahapan yang terakhir[2]. Keimanan yang benar terhadap hari akhir mancakup tiga hal pokok yaitu mengimani adanya hari kebangkitan, mengimani adanya hisaab (perhitungan) dan jazaa’ (balasan), serta mengimani tentang surga dan neraka. Termasuk juga keimanan kepada hari akhir adalah mengimani segala peristiwa yang akan terjadi setelah kematian seperti fitnah kubur, adzab kubur, dan nikmat kubur.
Mengimani Adanya Hari Kebangkitan
Hari kebangkitan adalah hari dihidupkannya kembali orang yang sudah mati ketika ditiupkannya sangkakala yang kedua. Kemudian manusia akan berdiri menghadap Rabb semesta alam dalam keadaan telanjang tanpa alas kaki, telanjang tanpa pakaian, dan dalam keadaan tidak disunat. Allah Ta’ala berfirman,
“Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran – lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai panciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” (Al Anbiyaa’:104)
Hari kebangkitan merupakan kebenaran yang sudah pasti. Ditetapkan oleh Al Quran, As Sunnah dan Ijmaa’ (konsensus) kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman:
“Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati(15). Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.(16)” (Al Mukminun:15-16)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam bersabda :
“Pada hari kiamat, seluruh manusia akan dikumpulkan dalam keadaan tanpa alas kaki, telanjang, dan tidak disunat”[3]Mengimani Adanya Hari Perhitungan dan Pembalasan
Termasuk perkara yang harus diimani berkenaan dengan hari akhir adalah mengimani adanya hari perhitungan dan pembalasan. Seluruh amal perbuatan setiap hamba akan dihisab dan diberi balasan. Hal ini juga telah ditetapkan oleh Al Quran, As Sunnah dan ijmaa’ kaum muslimin.
Allah Ta’ala berifrman,
إِنَّ إِلَيْنَآ إِيَّابَهُمْ {25} ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُم {26}
“Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka(25). (Al Ghasiyah:25-26)
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (Al Anbiyaa’:47)
Telah shahih dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salaam, beliau bersabda :
ومن هم بحسنة فلم يعملها كتبت له حسنة فإن عملها كتبت له عشرا ومن هم بسيئة فلم يعملها لم تكتب شيئا فإن عملها كتبت سيئة واحدة
Sedangkan barangsiapa yang berniat melakukan keburukan, lalu mengerjakannya, maka Allah hanya akan menulisnya satu keburukan saja“ [5].
Kaum muslimin juga telah bersepakat tentang adanya hari perhitungan dan pembalasan. Dan ini sesuai dengan tuntutan hikmah Allah Ta’ala.[6]
Mengimanai Adanya Surga dan Neraka
Hal lain yang harus diimani seorang muslim adalah tentang surga dan neraka. Surga adalah kampung kenikmatan yang dipersiapkan oleh Allah Ta’ala bagi orang-orang yang beriman. Sedangkan neraka adalah hunian yang penuh dengan adzab yang dipersiapkan oleh Allah Ta’ala untuk orang-orang kafir. Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam syurga yang penuh keni’matan. dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka” (Al Infithaar:13-14)
Berkaitan dengan surga dan neraka, ada beberapa hal penting yang merupakan keyakinan ahlus sunnah yang membedakannya dengan ahlul bid’ah :
Pertama: Surga dan Neraka Benar Adanya.
Keberadaan surga dan nereka adalah haq. Tidak ada keraguan di dalamnya. Neraka disediakan bagi musuh-musuh Allah, sedangkan surga dijanjikan bagi wali-wali Allah. Penyebutan tentang surga dan neraka dalam Al Quran dan As Sunnah sangatlah banyak. Terkadang disebutkan tentang kondisi penduduk surga dan neraka. Terkadang disebutkan tentang janji kenikmatan surga dan adzab di neraka. Demikian pula As Sunnah banyak menyebutkan tentang surga dan neraka. Itu semua menunjukkan bahwa keberadaan surga dan neraka adalah benar adanya. [7]
Kedua: Surga dan Neraka Sekarang Sudah Ada.
Ahlus sunnah telah sepakat bahwa keduanya merupakan makhluk Allah yang telah ada sekarang. Hal ini bertentangan dengan keyakinan mu’tazilah dan qodariyah yang lebih mengedepankan akal mereka. Adapun dalilnya adalah firman Allah:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (Ali Imran:133)
Tentang neraka Allah berfirman :
“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang telah disediakan untuk orang-orang yang kafir” (Alli Imran:131)
Diriwayatkan juga bahwa Nabi pernah melihat Sidratul Muntaha, kemudian melihat dan masuk ke dalam jannah. Kedua: Penciptaan Surga dan Neraka Sebelum Panciptaan Makhluk.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :
“(Dan Allah berfirman): “Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim.”” (Al A’raf:19)
Hal ini menunjukkan surga sudah ada sebelum penciptaan Adam. [9].
Ketiga: Surga dan Neraka Sudah Ada Penghuninya
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia … ”(Al A’raf:179)
إن الله خلق للجنة أهلا خلقهم لها وهم في أصلاب آبائهم وخلق للنار أهلا خلقهم لها وهم في أصلاب آبائهم
“… Sesungguhnya Allah telah menciptakan para penghuni untuk jannah. Allah telah menentukan mereka sebagai penghuninya, sedangkan mereka masih dalam tulang sulbi bapak-bapak mereka. Allah juga telah menciptakan para penghuni bagi neraka. Allah telah menentukan mereka sebagai penghuninya, padahal mereka masih dalam tulang sulbi bapak-bapak mereka” [10].[11]
Surga dan Neraka Kekal Abadi.
Allah Ta’ala berfirman :
“Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ينادي مناد إن لكم أن تصحوا فلا تسقموا أبدا وإن لكم أن تحيوا فلا تموتوا أبدا وإن لكم أن تشبوا فلا تهرموا أبدا وإن لكم أن تنعموا فلا تبأسوا أبدا فذلك قوله عز وجل { ونودوا أن تلكم الجنة أورثتموها بما كنتم تعملون }
Kamu sekalian akan menjadi muda belia dan tak pernah tua lagi. Dan kalian pun akan hidup dan tak akan pernah mati.”[12].
Keyakinan tentang surga dan neraka di atas, terangkum dalam perkataan yang disampaikan oleh Imam Abu Ja’far At Thahawy rahimahullah dalam kitab beliau al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, beliau menjelaskan: “Surga dan neraka merupakan dua makhluk yang tidak akan punah dan binasa. Sesungguhnya Allah telah menciptakan keduanya sebelum penciptaan makhluk lainnya dan Allah juga telah menciptakan penghuninya…”[13].
Mengimanai Fitnah, Adzab, dan Nikmat Kubur
Dalil perkara ini sangat gambalang dan jelas. Allah Ta’ala menerangkannya di banyak tempat dalam Al Quran. Demikian pula penjabaran dari Rasulullah tentang masalah ini sangat banyak dan mencapai derajat mutawatir.. Allah Ta’ala berfirman :
“…Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu” Di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.” (Al An’am: 93). [14]
Adapun dalil tentang adanya fitnah kubur adalah tentang kisah pertanyaan malaikat di alam kubur kepada mayit tentang Rabbnya, agamanya, dan nabinya. Allah Ta’ala lalu meneguhkan orang-orang yang beriman dengan kata-kata yang mantap, sehingga dengan kemantapannya ia menjawab :”Rabbku adalah Allah, agamaku Islam, dan nabiku adalah Nabi Muhammad”. Sebaliknya Allah menyesatkan orang-orang yang dzalim. Orang yang kafir hanya bisa menjawab : ”Hah…hah!Aku tidak tahu” sementara itu orang munafik atau orang yang ragu menjawab :” Aku tidak tahu. Faedah Iman yang Benar
Keimanan yang benar akan memberikan faedah yang bermanfaat. Demikian pula keimanan yang benar terhadap hari akhir akan memberikan manfaat yang besar, di antaranya :
Merasa senang dan bersemangat dalam melakukan kataatan dengan mengharapkan pahalanya kelak di ahri akhir.
Hiburan bagi orang-orang yang beriman terhdap apa yang tidak mereka dapatkan di dunia dengan mengharapkan kenikmatan dan pahala di akhirat. [16].
Terdapat banyak perincian yang harus kita imani dari hal-hal yang pokok tersebut. Insya Allah akan dijelaskan lebih rinci dalam kesempatan lain. [1]. Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah hal 482, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Dalam kitab Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah. Kumpulan Ulama. Penerbit Daarul Ibnul Jauzi
[2]. Ibid. Syaikh ‘Utsaimin menjelaskan bahwa manusia akan melalui lima tahapan kehidupan yaitu tahapan ketika manusia belum ada,, tahapan ketika dalam perut ibu, tahapan kehidupan dunia, tahapan hidup di alam barzakh, dan tahapan kehidupan akherat.
[4]. Syarh Ushuulil Iman hal 38-39. Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin. Penerbit Daarul Qasim. Cetakan pertama 1419 H
[6]. Syarh Ushuulil Iman hal 39-40
[7]. Lihat dalil-dalil selengkapnya dalam Ma’arijul Qobul hal 470-472. Penerbit Darul Kutub ‘Ilmiyah. [8]. Lihat Syarh al ‘Aqidah at Thahawiyah hal 1056-1058, Al Imam Ibnu Abil ‘Izz al Hanafi. Dalam Jaami’us Syuruuh al ‘Aqidah at Thahawiyah. Penerbit Daarul Ibnul Jauzi cetakan pertama tahun 2006.
Dalam Jaami’us Syuruuh al ‘Aqidah at Thahawiyah. Penerbit Daarul Ibnul Jauzi cetakan pertama tahun 2006.
[11]. Lihat Syarh al ‘Aqidah at Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izz al Hanafi hal 1070-1071
[12]. H,R Muslim 2837, At Tirmidzi 3246, dan Ahmad 319, dari hadist Abu Hurairah dan Abu Said al Khudri
[13]. Matan al ‘Aqidah at Thahawiyah.
[14]. Lihat dalil-dalil yang lebih lengkap dalam kitab Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqaad hal 224-225. Syaikh Sholih Al Fauzan Penerbit Maktabah Salsabiil Cetakan pertama tahun 2006.
[15]. Lihat Syarh Ushuulil Iman hal 42
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin. Penerbit Daarul Qasim. Cetakan pertama 1419 H
Syaikh Sholih Al Fauzan Penerbit Maktabah Salsabiil Cetakan pertama tahun 2006.

sumber:muslim.or.id

my keword:
gambaran hari kiamat
kehebatan allah
gambar keajaiban allah
hari kiamat
taqwa
iman kepada hari kiamat
2012 hari kiamat
Baca Selengkapnya..

Kamis, 04 Februari 2010

Berita Anti Muslim


Ada Berita Yang Sangat Begkemparkan
Waktu Itu Saya Googling Terus Saya Melihat Di Suata Artikel Yang Membuat Pergerakan Anti Muslim...
Dia Membuat Komik-Komik Yang Menjek Islam Seperti Mengejek Allah Dan Nabi Muhammad Saw Astafirulah..

Saya Saja Sebagai Umat Islam Sangat Jengkel Dengan WebSite Itu
Langsung Saja Anda Lihat :http://beritamuslim.wordpress.com/category/kartunkomik-islami/
Anda Saja Yang Memberi Komentar Tentang Anti Islam

my keyword:
Anti islam
Berita islam
Website Anti Islam
Blog Anti Islam
beritamuslim


Baca Selengkapnya..

Iman Bisa Bertambah dan Berkurang


Permasalahan iman merupakan permasalahan terpenting seorang muslim, sebab iman menentukan nasib seorang didunia dan akherat. Bahkan kebaikan dunia dan akherat bersandar kepada iman yang benar. Dengan iman seseorang akan mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan akherat serta keselamatan dari segala keburukan dan adzab Allah. Dengan iman seseorang akan mendapatkan pahala besar yang menjadi sebab masuk ke dalam surga dan selamat dari neraka. Dengan demikian permasalahan ini seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari kita semua.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan, “Hasil usaha jiwa dan qolbu (hati) yang terbaik dan penyebab seorang hamba mendapatkan ketinggian di dunia dan akherat adalah ilmu dan iman. “Dan berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir): “Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit.” (QS ar-Ruum: 56)Dan firman Allah Ta’aa,
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS al-Mujaadilah: 11).Mereka inilah inti dan pilihan dari yang ada dan mereka adalah orang yang berhak mendapatkan martabat tinggi. Namun kebanyakan manusia keliru dalam (memahami) hakekat ilmu dan iman ini, sehingga setiap kelompok menganggap ilmu dan iman yang dimilikinyalah satu-satunya yang dapat mengantarkannya kepada kebahagiaan, padahal tidak demikian. Kebanyakan mereka tidak memiliki iman yang menyelamatkan dan ilmu yang mengangkat (kepada ketinggian derajat), bahkan mereka telah menutup untuk diri mereka sendiri jalan ilmu dan iman yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadi dakwah beliau kepada umat. Sedangkan yang berada di atas iman dan ilmu (yang benar) adalah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya setelah beliau serta orang-orang yang mengikuti mereka di atas manhaj dan petunjuk mereka….”.[1]
Demikian bila kita melihat kepada pemahaman kaum muslimin saja tentang iman didapatkan banyak kekeliruan dan penyimpangan. Ini semua tentunya membutuhkan pelurusan dan pencerahan bagaimana sesungguhnya konsep iman yang benar tersebut.
Makna Iman
Dalam bahasa Arab, ada yang mengartikan kata iman dengan “tashdîq” (membenarkan); thuma’nînah (ketentraman); dan iqrâr (pengakuan). Makna ketiga inilah yang paling tepat. Dan iqrâr (pengakuan) itu mencakup perkataan hati, yaitu tashdîq (membenarkan), dan perbuatan hati, yaitu inqiyâd (ketundukan hati)”.[2]
Dengan demikian, iman adalah iqrâr (pengakuan) hati yang mencakup:
Yaitu: keyakinan yang disertai dengan kecintaan dan ketundukan terhadap semua yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Ta’ala .
Adapun secara syar’i (agama), iman yang sempurna mencakup qaul (perkataan) dan amal (perbuatan). Syaikul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dan di antara prinsip Ahlus sunnah wal jamâ’ah, ad-dîn (agama/amalan) dan al-imân adalah perkataan dan perbuatan, perkataan hati dan lisan, perbuatan hati, lisan dan anggota badan”.[3]
Dalil Bagian-Bagian Iman
Dari perkataan Syaikhul Islam di atas, nampak bahwa iman menurut Ahlus sunnah wal jamâ’ah mencakup lima perkara, yaitu [1] perkataan hati, [2] perkataan lisan, [3] perbuatan hati, [4] perbuatan lisan dan [5] perbuatan anggota badan.
Banyak dalil yang menunjukkan masuknya lima perkara di atas dalam kategori iman, di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama: Perkataan hati, yaitu pembenaran dan keyakinan hati. Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang hanya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS al-Hujurât: 15)Kedua: Perkataan lisan, yaitu mengucapkan syahadat Lâ ilâha illallâh dan syahadat Muhammad Rasulullâh dengan lisan dan mengakui kandungan syahadatain tersebut. Di antara dalil hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Aku diperintah (oleh Allah) untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dan sampai mereka menegakkan shalat, serta membayar zakat. Jika mereka telah melakukan itu, maka mereka telah mencegah darah dan harta mereka dariku kecuali dengan hak Islam, dan perhitungan mereka pada tanggungan Allah.”[4]Ketiga: Perbuatan hati, yaitu gerakan dan kehendak hati, seperti ikhlas, tawakal, mencintai Allah Ta’ala , mencintai apa yang dicintai oleh Allah Ta’ala , rajâ’ (berharap rahmat/ampunan Allah Ta’ala), takut kepada siksa Allah Ta’ala , ketundukan hati kepada Allah Ta’ala, dan lain-lain yang mengikutinya. Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, hati mereka gemetar, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabbnya mereka bertawakkal” (QS al-Anfâl: 2). Dan dalil-dalil lainnya yang menunjukkan amalan-amalan hati termasuk iman.Keempat: Perbuatan lisan/lidah, yaitu amalan yang tidak dilakukan kecuali dengan lidah. Seperti membaca al-Qur’ân, dzikir kepada Allah Ta’ala, doa, istighfâr, dan lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Rabb-mu (al-Qur’ân). Tidak ada (seorang pun) yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya.” (QS al-Kahfi: 27). Dan dalil-dalil lainnya yang menunjukkan amalan-amalan lisan termasuk iman.Kelima: Perbuatan anggota badan, yaitu amalan yang tidak dilakukan kecuali dengan anggota badan. Allah Ta’ala berfirman,
(QS al-Hajj: 77)Rukun-Rukun Iman
Sesungguhnya iman memiliki bagian-bagian yang harus ada, yang disebut dengan rukun-rukun (tiang; tonggak) iman. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata pada permulaan kitab beliau, ‘Aqîdah al-Wâsithiyah’, “Ini adalah aqîdah Firqah an-Nâjiyah al-Manshûrah (golongan yang selamat, yang ditolong) sampai hari kiamat, Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Yaitu: beriman kepada Allah Ta’ala, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, kebangkitan setelah kematian, dan beriman kepada qadar, yang baik dan yang buruk”.[6]
Dalil rukun iman yang enam ini adalah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada malaikat Jibrîl ‘alaihis salam, ketika menjelaskan tentang iman,
Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada qadar, yang baik dan yang buruk.”[7]Rukun iman ini wajib diyakini oleh setiap Mukmin. Syaikh Muhammad Khalîl Harrâs berkata, “Enam perkara ini adalah rukun-rukun iman. Iman seseorang tidak sempurna kecuali jika dia beriman kepada semuanya dengan bentuk yang benar sebagaimana ditunjukkan oleh al-Kitab dan Sunnah. Barangsiapa mengingkari sesuatu darinya, atau beriman kepadanya dengan bentuk yang tidak benar, maka dia telah kafir.” [8]
Iman Bertambah dan Berkurang
Sudah dimaklumi banyak terdapat nash-nash al-Qur`an dan as-Sunnah yang menjelaskan pertambahan iman dan pengurangannya. Menjelaskan pemilik iman yang bertingkat-tingkat sebagiannya lebih sempurna imannya dari yang lainnya. Ada juga al-Muhsin, al-Mukmin dan al-Muslim. Semua ini menunjukkan mereka tidak berada dalam satu martabat. Ini menandakan bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang.
Bukti dari Al Qur’an dan As Sunnah Bahwa Iman Bisa Bertambah dan Berkurang
Pertama: Firman Allah Ta’ala ,
“(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, Maka Perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung“.” Para ulama Ahlus Sunnah menjadikan ayat ini sebagai dasar adanya pertambahan dan pengurangan iman, sebagaimana pernah ditanyakan kepada imam Sufyaan bin ‘Uyainah rahimahullah, “Apakah iman itu bertambah atau berkurang?” Beliau rahimahullah menjawab, “Tidakkah kalian mendengar firman Allah Ta’ala,
“Maka perkataan itu menambah keimanan mereka”. (QS Alimron: 173) dan firman Allah Ta’ala,
“Dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk”.(QS al-Kahfi: 13) dan beberapa ayat lainnya”. Ada yang bertanya, “Bagaimana iman bisa dikatakan berkurang?” Kedua: Firman Allah Ta’ala,
“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. dan amal-amal saleh yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik kesudahannya.” Hal ini dikuatkan juga dengan firman Allah Ta’ala,
“Dan supaya orang yang beriman bertambah imannya.” (QS al-Mudatstsir: 31) dan firman Allah Ta’ala,“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya).” (QS al-Anfaal:8/2)
Juga dikuatkan dengan kenyataan bahwa iman itu adalah perkataan qolbu (hati) dan lisan, amalan qolbu, lisan dan anggota tubuh. Juga kaum mukminin sangat bertingkat-tingkat dalam hal ini.[12]
Ketiga: Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan mukmin dan tidaklah minum minuman keras ketika minumnya dalam keadaan mukmin serta tidaklah mencuri ketika mencuri dalam keadaan mukmin”.[13]Ishaaq bin Ibraahim an-Naisaaburi berkata, “Abu Abdillah (Imam Ahmad) pernah ditanya tentang iman dan berkurangnya iman. Beliau rahimahullah menjawab, “Dalil mengenai berkurangnya iman terdapat pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan mukmin dan tidaklah mencuri dalam keadaan mukmin.” [14]
“Iman itu lebih dari tujuh puluh atau lebih dari enampuluh. Yang paling utama adalah perkataan: “Laa Ilaaha Illa Allah” dan yang terendah adalah membersihkan gangguan dari jalanan dan rasa malu adalah satu cabang dari iman.”[15]Hadits yang mulia ini menjelaskan bahwa iman memiliki cabang-cabang, ada yang tertinggi dan ada yang terendah . Cabang-cabang iman ini bertingkat-tingkat dan tidak berada dalam satu derajat dalam keutamaannya, bahkan sebagiannya lebih utama dari lainnya. Oleh karena itu Imam At-Tirmidzi memuat bab dalam sunannya: “Bab Kesempurnaan, bertambah dan berkurangnya iman”.
Syeikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas menyatakan, Ini jelas sekali menunjukkan iman itu bertambah dan berkurang sesuai dengan pertambahan aturan syariat dan cabang-cabang iman serta amalan hamba tersebut atau tidak mengamalkannya. Siapa yang berpendapat bahwa iman itu tidak bertambah dan berkurang, sungguh ia telah menyelisihi realita yang nyata di samping menyelisihi nash-nash syariat sebagaimana telah diketahui.[16]
Pendapat Ulama Salaf Bahwa Iman Bisa Bertambah dan Berkurang
Sedangkan pendapat dan atsar as-Salaf ash-Shaalih sangat banyak sekali dalam menetapkan keyakinan bahwa iman itu bertambah dan berkurang, diantaranya:
Satu ketika Kholifah ar-Rsyid Umar bin al-Khathaab rahimahullah pernah berkata kepada para sahabatnya,
“Marilah kita menambah iman kita.”[17]Sahabat Abu ad-Darda` Uwaimir al-Anshaari rahimahullah berkata,
“Iman itu bertambah dan berkurang.”[18]Kedua: Dari kalangan Tabi’in, di antaranya:
Abu al-Hajjaaj Mujaahid bin Jabr al-Makki (wafat tahun 104 H) menyatakan,
“Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.”[19]Ketiga: Kalangan tabi’ut Tabi’in, di antaranya:
“Iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Siapa yang meyakini iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang maka berhati-hatilah terhadapnya karena ia adalah seorang ahli bid’ah.”[21]Beliau juga ditanya tentang iman, “Apakah bisa bertambah?” Beliau rahimahullah menjawab, “Iya, hingga tidak tersisa sedikitpun darinya”.[22]
Muhammad bin Idris asy-Syaafi’i rahimahullah menyatakan,
“Iman itu adalah perkataan dan perbuatan bertambah dan berkurang.”[23]Ahmad bin Hambal rahimahullah menyatakan, “Iman itu sebagiannya lebih unggul dari yang lainnya, bertambah dan berkurang. Bertambahnya iman adalah dengan beramal. Sedangkan berkurangnya iman dengan tidak beramal. Dan perkataan adalah yang mengakuinya.”[24]


sumber:muslim.or.id
my keword:
definisi iman
arti iman
apa itu iman
cara-cara beriman kepada allah
cara-cara beriman kepada nabi

Baca Selengkapnya..

Macam-Macam Najis


Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hinga akhir zaman.
Pengertian Najis
Najis adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh orang yang memiliki tabi’at yang selamat (baik) dan selalu menjaga diri darinya. Apabila pakaian terkena najis –seperti kotoran manusia dan kencing- maka harus dibersihkan.[1]
Perlu dibedakan antara najis dan hadats. Najis kadang kita temukan pada badan, pakaian dan tempat. Sedangkan hadats terkhusus kita temukan pada badan. Najis bentuknya konkrit, sedangkan hadats itu abstrak dan menunjukkan keadaan seseorang. Ketika ia kentut, ia dalam keadaan hadats kecil. Sedangkan apabila pakaiannya terkena air kencing, maka ia berarti terkena najis. Hadats kecil dihilangkan dengan berwudhu dan hadats besar dengan mandi. Sedangkan najis, asalkan najis tersebut hilang, maka sudah membuat benda tersebut suci. Mudah-mudahan kita bisa membedakan antara hadats dan najis ini.[2]
Hukum Asal Segala Sesuatu adalah Suci
Terdapat suatu kaedah penting yang harus diperhatikan yaitu segala sesuatu hukum asalnya adalah mubah dan suci. Barangsiapa mengklaim bahwa sesuatu itu najis maka dia harus mendatangkan dalil. Namun, apabila dia tidak mampu mendatangkan dalil atau mendatangkan dalil namun kurang tepat, maka wajib bagi kita berpegang dengan hukum asal yaitu segala sesuatu itu pada asalnya suci. [3] Menyatakan sesuatu itu najis berarti menjadi beban taklif, sehingga hal ini membutuhkan butuh dalil.[4]
Macam-Macam Najis
1,2 – Kencing dan kotoran (tinja) manusia
Mengenai najisnya kotoran manusia ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian menginjak kotoran (al adza) dengan alas kakinya, maka tanahlah yang nanti akan menyucikannya.”[5]Al adza (kotoran) adalah segala sesuatu yang mengganggu yaitu benda najis, kotoran, batu, duri, dsb.[6][7] Selain dalil di atas terdapat juga beberapa dalil tentang perintah untuk istinja’ yang menunjukkan najisnya kotoran manusia.[8]
“(Suatu saat) seorang Arab Badui kencing di masjid. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkan dan jangan hentikan (kencingnya)”. Setelah orang badui tersebut menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas meminta satu ember air lalu menyiram kencing tersebut.”[9]Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Kotoran dan kencing manusia sudah tidak samar lagi mengenai kenajisannya, lebih-lebih lagi pada orang yang sering menelaah berbagai dalil syari’ah.”[10]
3,4 - Madzi dan Wadi
Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.
Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi.[11]
Hukum madzi adalah najis sebagaimana terdapat perintah untuk membersihkan kemaluan ketika madzi tersebut keluar. Dari ‘Ali bin Abi Thalib, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Aku termausk orang yang sering keluar madzi. Lalu aku pun memerintahkan pada Al Miqdad bin Al Aswad untuk bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau memberikan jawaban pada Al Miqdad, “Perintahkan dia untuk mencuci kemaluannya kemudian suruh dia berwudhu”.”[12]
Hukum wadi juga najis. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
“Mengenai mani, madzi dan wadi; adapun mani, maka diharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi dan madzi, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Cucilah kemaluanmu, lantas berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk shalat.”[13]5 – Kotoran hewan yang dagingnya tidak halal dimakan
Contohnya adalah kotoran keledai jinak[14], kotoran anjing[15] dan kotoran babi[16]. “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud bersuci setelah buang hajat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Carikanlah tiga buah batu untukku.” Kemudian aku mendapatkan dua batu dan kotoran keledai. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil dua batu dan membuang kotoran tadi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Kotoran ini termasuk najis”.” [17]Hal ini menunjukkan bahwa kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya semacam kotoran keledai jinak adalah najis.
6 – Darah haidh
Dalil yang menunjukkan hal ini, dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata,
“Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Gosok dan keriklah pakaian tersebut dengan air, lalu percikilah. Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.”[20]8 – Bangkai
Bangkai adalah hewan yang mati begitu saja tanpa melalui penyembelihan yang syar’i.[22]“Apabila kulit bangkai tersebut disamak, maka dia telah suci.”Bangkai yang dikecualikan adalah :
a – Bangkai ikan dan belalang
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.” [23]Contohnya adalah bangkai lalat, semut, lebah, dan kutu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila seekor lalat jatuh di salah satu bejana di antara kalian, maka celupkanlah lalat tersebut seluruhnya, kemudian buanglah. Sebab di salah satu sayap lalat ini terdapat racun (penyakit) dan sayap lainnya terdapat penawarnya.”[24]c – Tulang, tanduk, kuku, rambut dan bulu dari bangkai
Semua ini termasuk bagian dari bangkai yang suci karena kita kembalikan kepada hukum asal segala sesuatu adalah suci. “Hammad mengatakan bahwa bulu bangkai tidaklah mengapa (yaitu tidak najis). Az Zuhri mengatakan tentang tulang bangkai dari gajah dan semacamnya, ‘Aku menemukan beberapa ulama salaf menyisir rambut dan berminyak dengan menggunakan tulang tersebut. Mereka tidaklah menganggapnya najis hal ini’.” [25]Tersisa pembahasan beberapa hal yang sebenarnya tidak termasuk najis -menurut pendapat ulama yang lebih kuat- yaitu mani, darah (selain darah haidh), muntah, dan khomr. Semoga Allah selalu memberikan pada kita ilmu yang bermanfaat. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.

sumber:muslim.or.id

my keword:
najis
petua
bacaan
forbidden
macam najis
masksud najis
arti najis
definisi najis

Baca Selengkapnya..

Beberapa Aliran Sesat


Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Setiap golongan yang menamakan dirinya dengan selain identitas Islam dan Sunnah adalah mubtadi’ (ahli bid’ah) seperti contohnya : Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij, Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Karramiyah, Kullabiyah, dan juga kelompok-kelompok lain yang serupa dengan mereka. Inilah firqah-firqah sesat dan kelompok-kelompok bid’ah, semoga Allah melindungi kita darinya.” (Lum’atul I’tiqad, dinukil dari Al Is’ad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad hal 90. Lihat pula Syarh Lum’atul I’tiqad Syaikh al-‘Utsaimin, hal. 161)
Setelah membawakan perkataan Ibnu Qudamah ini Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan mengenai sebagian ciri-ciri Ahlul bid’ah. Beliau mengatakan, “Kaum Ahlul bid’ah itu memiliki beberapa ciri, di antaranya:
Mereka memiliki karakter selain karakter Islam dan Sunnah sebagai akibat dari bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan, baik yang menyangkut urusan perkataan, perbuatan maupun keyakinan.
Mereka sangat fanatik kepada pendapat-pendapat golongan mereka. Sehingga mereka pun tidak mau kembali kepada kebenaran meskipun kebenaran itu sudah tampak jelas bagi mereka.
Mereka membenci para Imam umat Islam dan para pemimpin agama (ulama).”(Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161)
Mereka itu adalah :
Pertama
Rafidhah (Syi’ah), yaitu orang-orang yang melampaui batas dalam mengagungkan ahlul bait (keluarga Nabi). Mereka juga mengkafirkan orang-orang selain golongannya, baik itu dari kalangan para Shahabat maupun yang lainnya. Mereka ini pun terdiri dari banyak sekte. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim hingga berani mempertuhankan ‘Ali bin Abi Thalib, dan ada pula di antara mereka yang lebih rendah kesesatannya dibandingkan mereka ini. Tokoh mereka di jaman ini adalah Khomeini beserta begundal-begundalnya. (Silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 49-53, pent)
Kedua
Jahmiyah. Disebut demikian karena mereka adalah penganut paham Jahm bin Shofwan yang madzhabnya sesat. Madzhab mereka dalam masalah tauhid adalah menolak sifat-sifat Allah. Sedangkan madzhab mereka dalam masalah takdir adalah menganut paham Jabriyah. Paham Jabriyah menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa dan tidak memiliki pilihan dalam mengerjakan kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah keimanan madzhab mereka adalah menganut paham Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu cukup dengan pengakuan hati tanpa harus diikuti dengan ucapan dan amalan. Sehingga konsekuensi dari pendapat mereka ialah pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang sempurna imannya. Mereka ini adalah orang-orang yang memberontak kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu karena alasan pemutusan hukum. Di antara ciri pemahaman mereka ialah membolehkan pemberontakan kepada penguasa muslim dan mengkafirkan pelaku dosa besar. Mereka ini juga terbagi menjadi bersekte-sekte lagi. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka meyakini bahwa hamba memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari kehendak dan kekuasaan Allah. Pelopor yang menampakkan pendapat ini adalah Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para Shahabat. Di antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah, jadi inipun sama sesatnya.
Menurut mereka amal bukanlah bagian dari iman. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang imannya sempurna. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab Khawarij.
Keenam
Mu’tazilah. Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan al-Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka. Dalam masalah takdir mereka ini menganut paham Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku dosa besar mereka menganggapnya tidak kafir tapi juga tidak beriman. Dengan dua prinsip terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan dengan Jahmiyah. Karena Jahmiyah menganut paham Jabriyah dan menganggap dosa tidaklah membahayakan keimanan.
Mereka adalah pengikut Muhammad bin Karram yang cenderung kepada madzhab Tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan makhluk) dan mengikuti pendapat Murji’ah, mereka ini juga terdiri dari banyak sekte.
Mereka ini adalah pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab al-Bashri. Mereka inilah yang mengeluarkan statemen tentang Tujuh Sifat Allah yang mereka tetapkan dengan akal. Kemudian kaum Asya’irah (yang mengaku mengikuti Imam Abul Hasan al-Asy’ari) pada masa ini pun mengikuti jejak langkah mereka yang sesat itu. Kemudian sesudah itu beliau bertaubat darinya dan membongkar kebatilan madzhab Mu’tazilah. Kemudian akhirnya beliau bertaubat secara total dan berpegang teguh dengan madzhab Ahlus Sunnah, semoga Allah merahmati beliau. Syaikh Abdur Razzaq al-Jaza’iri hafizhahullah mengatakan, “Dan firqah-firqah sesat tidak terbatas pada beberapa firqah yang sudah disebutkan ini saja. Karena ini adalah sebagiannya saja. Di antara firqah sesat lainnya adalah : Kaum Shufiyah dengan berbagai macam tarekatnya, Kaum Syi’ah dengan sekte-sektenya, Kaum Mulahidah (atheis) dengan berbagai macam kelompoknya. Dan juga kelompok-kelompok yang gemar bertahazzub (bergolong-golongan) pada masa kini dengan berbagai macam alirannya, seperti contohnya: Jama’ah Hijrah wa Takfir yang menganut aliran Khawarij; yang dampak negatif ulah mereka telah menyebar kemana-mana (yaitu dengan maraknya pengeboman dan pemberontakan kepada penguasa, red), Jama’ah Tabligh dari India yang menganut aliran Sufi, Jama’ah-jama’ah Jihad yang mereka ini termasuk pengusung paham Khawarij tulen, kelompok al-Jaz’arah, begitu juga (gerakan) al-Ikhwan al-Muslimun baik di tingkat internasional maupun di kawasan regional (bacalah buku Menyingkap Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin karya Ustadz Andy Abu Thalib Al Atsary hafizhahullah). Sebagian di antara mereka (Ikhwanul Muslimin) ada juga yang tumbuh berkembang menjadi beberapa Jama’ah Takfiri (yang mudah mengkafirkan orang). Dan kelompok-kelompok sesat selain mereka masih banyak lagi.” (lihat al-Is’ad fii Syarhi Lum’atul I’tiqad, hal. 91-92, bagi yang ingin menelaah lebih dalam tentang hakikat dan bahaya di balik jama’ah-jama’ah yang ada silakan membaca buku ‘Jama’ah-Jama’ah Islam’ karya Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah)

sumber:muslim.or.id

my keyword:
aliran sesat
aliran aliran sesat
ajaran sesat
ahmadiyah
Baca Selengkapnya..